Sipirok, walhisumut.or.id – Menanggapi Laporan Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah Sumatera Utara (WALHI Sumut) dengan nomor surat 032/E/WALHISU/V/2024 tentang aktivitas pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu Areal Penggunaan Lain-Pemegang Hak Atas Tanah (APL-PHAT) di kawasan Ekosistem Batang Toru, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tapanuli Selatan (Tapsel) menyatakan jika aktivitas pemanfaatan kayu itu belum mengantongi izin/ilegal.
Hal ini disampaikan Kepala DLH Tapsel, Ongku Muda Atas, melalui surat bernomor 032/125/2024 perihal permohonan pembatalan persetujuan pemanfaatan kayu a.n. UD. Anggara, Sipirok, Jumat, 5 Juli 2024.
Sebelumnya, pada 10 Mei 2024, WALHI Sumut melaporkan aktivitas pembalakan hutan Batang Toru/Harangan Tapanuli yang masuk koridor satwa di areal cukup luas yang mencakup wilayah administrasi Desa Bulu Mario, Desa Aek Batang Paya, Desa Batu Satail, dan Dusun Huraba. Cakupan wilayah tersebut merupakan kawasan dengan skema APL-PHAT yang telah dibebani perizinan non kehutanan berdasarkan ayat 3 pasal 175 Permen LHK No. 8 Tahun 2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
Atas laporan tersebut, DLH Tapsel merespons jika aktivitas pemanfaatan kayu di APL-PHAT tersebut dilakukan oleh UD. Anggara, yang ternyata belum mengantongi izin kegiatan pembukaan lahan dan perizinan berusaha dari Pemkab Tapsel, serta juga belum memiliki persetujuan lingkungan.
DLH Tapsel pun meminta Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah II untuk membatalkan persetujuan pemanfaatan kayu tersebut. “…Diharapkan kesediaan Bapak (Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah II) agar membatalkan persetujuan pemanfaatan kayu yang diberikan terhadap UD. Anggara dimaksud,” tulis Kepala DLH Tapsel, Ongku Muda Atas.
Perlu diketahui sebelumnya, WALHI Sumut pernah mengeluarkan rilis tentang pemanfaatan kayu dengan skema PHAT di APL ekosistem Batang Toru yang mengancam kehidupan satwa dilindungi.
WALHI menemukan fakta adanya penebangan dan perambahan di luar area PHAT, dengan dalih untuk pembangunan jalan menuju PHAT. “Hal ini mengindikasikan adanya pelanggaran yang dilakukan, yang berujung pada berkurangnya tutupan lahan dan rusaknya habitat satwa.”
Pembukaan lahan PHAT juga dinilai meningkatkan potensi konflik satwa. Sebagian besar temuan satwa liar termasuk di antaranya adalah satwa mangsa berada pada area hutan yang terletak di antara pemukiman masyarakat. Pembukaan area tersebut, sudah pasti merusak habitat satwa liar, dan menyebabkan satwa-satwa liar tersebut menyingkir dari area tersebut dan memasuki pemukiman masyarakat.
Padahal dalam rentang waktu Februari 2022 – Maret 2024 terdapat 33 temuan satwa, baik itu bertemu langsung, dari tangkapan kamera trap SRI, sarang, cakar, dll. Satwanya pun beragam mulai dari orangutan, burung rangkong, tapir Asia, hingga harimau Sumatera.
WALHI pun menyarankan program penguatan fungsi koridor di Area Penggunaan Lain (APL) dan penguatan masyarakat melalui peningkatan pertanian agroforestri. “Fungsi kawasan sebagai koridor tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika areal penyangga di sekitarnya tidak mendukung untuk hal tersebut. Sehingga pengembangan dengan membagi ruang sebagai inti area inti koridor berbasiskan sungai dan area sekitarnya sebagai penyangga dengan pengembangan pola pertanian ekologis.”
Program Kesepakatan Konservasi Masyarakat (Community Conservation Aggreement) juga ditawarkan. Program ini dirancang setelah melalui serangkaian tahapan konsultasi terhadap para pihak yang berkepentingan terhadap area dan isu konservasi di Ekosistem Batangtoru. Mengikuti prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) guna menghormati hak masyarakat lokal.