Lebih dari setahun sudah tragedi kandasnya Kapal Tanker MT AASHI terjadi, namun penanganannya masih mandek hingga saat ini. Pemerintah cenderung abai.
Kapal tanker berbendera Gabon yang membawa 3.600 metrik ton aspal cair kandas pada 11 Februari 2023 di laut Nias Utara, tepatnya di kawasan perairan Desa Humene Siheneasi, Kecamatan Tulaga Oyo, Nias Utara, Sumatra Utara. Lambung kapal yang pecah telah mencemari perairan sekitar.
Aspal cair mencemari laut Nias Utara, sekaligus merampas ekosistem laut serta ruang hidup masyarakat. Tumpahan aspal menyebar hingga radius 50 km dari titik kebocoran, hingga Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Nias Utara.
Kapal Tangker MT AASHI mengangkut bahan mentah aspal (bitumen) yang diangkut dari pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab, berangkat pada 19 Januari 2023. Bitumen tersebut rencananya akan dikirim ke wilayah Padang dan Sibolga, sebelum akhirnya kapal kandas diduga akibat cuaca buruk.
Pengabaian oleh Pemerintah
Artikel yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dengan tajuk “Kemenko Marves Pantau Langsung Tumpahan Aspal Mentah Kapal MT AASHI” seolah jadi harap atas penanganan kasus ini. Meski kenyataannya nihil.
Disebutkan jika Kemenko Marves telah berkoordinasi dari berbagai lembaga dan pemerintahan baik pusat ataupun daerah. “Sebagai informasi, rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Basarnas, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nias Utara, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara, Pangkalan TNI – AL Nias, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Utama (KSOP) Belawan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Gunungsitoli, Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Lahewa, Rizky Bahari selaku Perwakilan Pemilik Kapal MT. AASHI.”
Pada Maret 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan pun turun tangan untuk menghitung kerugian atas kasus ini. Dalam konferensi persnya disebutkan jika terdapat kerugian berupa ekologi karang, ekonomi pesisir dan pantai, serta sumber daya ikan yang berimbas langsung terhadap nelayan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamada Muda TNI Adin Nurawaluddin, mengatakan jika perkembangan penanganan clean up pada saat itu difokuskan di 3 kecamatan: Kecamatan Afulu; Kecamatan Tugalo Oyo; dan Kecamatan Lahewa. Berhasil membersihkan aspal sebanyak 7,95 ton per hari.
Pada kenyataannya, hingga saat ini laut Nias Utara masih tercemar. Upaya pemerintah dari berbagai lembaga kementerian yang sudah disebutkan tadi patut dipertanyakan. Bangkai kapal masih belum terangkat, nelayan masih melarat.
Belum diketahui proses clean up yang dilakukan oleh KKP berhenti kapan, namun yang pasti, upaya yang mereka lakukan cenderung niat tak niat. Hanya ada 20 orang per hari dengan 4-7 perahu nelayan yang membersihkan cemaran laut dengan luasan sebaran yang teramat luas. Mustahil.
Pada 8 November 2023, Wahana Lingkungan Indonesia Eksekutif Daerah Sumatera Utara (WALHI Sumut), menerbitkan sebuah film dokumenter terkait cemaran aspal ini dengan judul “LARA ASPAL” yang rilis di kanal YouTube WALHI Sumut. Dalam film ini kita dapat menyaksikan jika cemaran aspal telah menodai pesisir pantai. Membuat para nelayan kehilangan mata pencahariannya.
Memasuki pertengahan tahun 2024, belum ada informasi lebih lanjut terkait penanganan kasus ini. Ganti rugi nilai ekosistem laut Nias Utara, dan ganti rugi nilai sosial-ekonomi bagi masyarakat terdampak belum juga diberikan. Lantas, apa fungsi KKP melakukan perhitungan nilai kerugian? Biar kelihatan kerja saja. Juga, apa fungsi Kemenko Marves melakukan koordinasi lintas lembaga, serta mempublikasikan kegiatan mereka? Untuk menarik eksistensi saja?
Pemerintah padahal sudah berkoordinasi dengan pemilik kapal. Memang tidak niat saja menindaklanjuti permasalahan ini. Tepatnya tidak berempati terhadap masyarakat terdampak.
Masyarakat Masih Menanggung Lara
WALHI Sumut sempat mengeluarkan rilis akibat lara yang harus ditanggung masyarakat pesisir Nias Utara, yang isinya meliputi beberapa poin, yakni:
- Pencemaran Lingkungan yang Masif: Aspal cair sekitar 3.600 metrik ton dari kapal MT ASSHI terus mengeluarkan aspal, mencemari perairan Nias dan merusak terumbu karang, hutan mangrove, dan pesisir pantai.
- Kerugian Sosial dan Ekonomi: Para nelayan mengalami kerugian sosial dan ekonomi yang signifikan. Hasil tangkapan ikan menurun drastis, nelayan harus melaut lebih jauh, dan biaya bahan bakar lebih tinggi.
- Evakuasi dan Penanggulangan yang Lambat: Kritik terhadap lambatnya respons pemerintah dalam menangani masalah pencemaran aspal di perairan Nias Utara. Perlu adanya fokus untuk segera mengevakuasi kapal dari laut.
- Dampak pada Ekosistem Mangrove: Dampak pencemaran aspal terlihat pada area ekosistem mangrove, dengan tanaman mangrove terkena aspal, menyebabkan stres dan gosong daun.
- Perjuangan Nelayan dan Kerja Sama Pemerintah Pusat: Nelayan dan kelompok konservasi laut menyatakan bahwa kasus ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, terutama pemerintah pusat, untuk menangani dampak yang semakin meluas.
Sementara itu, WALHI Sumut juga memberikan beberapa poin tuntutan, berupa:
- Pertama, menuntut perusahaan dan pemerintah segera evakuasi kapal, melakukan clean up terintegrasi, melakukan pemulihan ekosistem laut dan membayar ganti rugi ekonomi terhadap Nelayan terdampak.
- Kedua, untuk mencegah dampak pencemaran lebih luas, kapal segera dievakuasi dan melaksanakan clean up secara terintegrasi hingga optimal.
- Ketiga, Pemerintah dan Perusahaan segera merealisasikan pembayaran ganti rugi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup maupun kerugian masyarakat.
- Keempat, berkaca pada penanganan kasus MT AASHI, seluruh pemerintah daerah di Indonesia, harus membentuk dan memastikan kesiapsiagaan tim daerah penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak.
Namun, hingga saat ini, pernyataan sikap dan tuntutan WALHI Sumut tersebut tidak direspons dengan baik realisasinya. Masyarakat masih menanggung lara. Tidak ada ganti rugi nilai ekonomi-sosial yang diterima.
Maka dengan terbitnya tulisan ini pula, WALHI Sumut meminta publik untuk tetap menyoroti penanggulangan kasus cemaran aspal di Nias Utara ini. Hingga pemerintah benar-benar bekerja dengan baik, dan kembali berempati pada masyarakat terdampak.