Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, menyimpan nilai biodiversitas yang tinggi, rumah bagi flora dan fauna yang kharismatik, termasuk Orangutan Tapanuli yang baru ditemukan pada tahun 2017.
Ekosistem Batang Toru atau dikenal dengan bahasa lokal Harangan Tapanuli terdiri dari kawasan hutan tropis daratan rendah, berbukit, hingga terjal pegunungan yang terletak di tiga kabupaten antara lain Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan hutan Batang Toru memiliki luas kurang Lebih 120,000 ha terbagi menjadi tiga blok yaitu blok timur, blok barat dan blok sibual-buali yang dipisahkan oleh lembah retakan Sumatera. Ekosistem Batang Toru ini adalah satu dari sedikitnya ekosistem di Indonesia yang masih memiliki hutan alami di Indonesia. Ekosistem Batang menawarkan pemandangan alam yang luar biasa dari air terjun, hutan lebat, dan memiliki fitur alam yang luar biasa. Ekosistem Batang Toru juga memiliki nilai biodiversitas yang tinggi, ini menyimpan kekayaan flora dan fauna beragam spesies kunci atau spesies langka terdapat di kawasan hutan Batang Toru antara lain harimau Sumatera, beruang madu, rangkong (enggang becula), dan banyak lagi spesies yang memiliki habitat di hutan Batang Toru.
Ekosistem Batang Toru juga merupakan habitat asli bagi Orangutan Tapanuli, yang baru diidentifikasi sebagai spesies baru pada tahun 2017, menambah daftar orangutan di Indonesia selain orangutan Sumatera dan orangutan Kalimantan. Sebuah survei dari tahun 2000-an menyiratkan bahwa masih ada populasi orangutan terpencil tinggal dikawasan hutan Batang Toru. Penemuan ini menempatkan Orangutan Tapanuli ke dalam daftar merah (Redlist IUCN) sebagai sangat terancam dan diambang kepunahan dengan jumlah 800 individu tersisa.
Selain itu, Ekosistem Batang Toru juga memiliki peran penting terhadap peradaban masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan. Keberadaan hutan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat lokal dari hulu sampai hilir dan sungai-sungai kecil diantaranya. Manfaat paling dasar adalah sebagai penyanggah air bersih terhadap masyarakat lokal yang berada di empat kecamatan antara lain Batang Toru, Angkola Sangkunur, Muara Batang Toru, dan Mandailing Natal.
Sayangnya, kekayaan sumber daya alam Batang Toru yang berlimpah telah menarik bentuk mode ekstraksi sumber daya alam dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Kondisi seperti ini semakin memperburuk kerusakan alam Batang Toru yang sudah ada dan memberikan dampak yang signifikan dan langsung terhadap keseimbangan ekosistem beserta makhluk hidup yang tinggal di dalam. Sebagai contoh, dengan adanya pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam yang terus-menerus di Batang Toru, telah menyebabkan orangutan Tapanuli terfragmentasi, begitu juga dengan satwa kunci lainya. Tak jarang, masyarakat lokal kehilangan sumber mata pencaharian mereka karena penggusuran yang dilakukan secara terpaksa.
Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga terus terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam model pembangunan yang tidak berkelanjutan yang secara konsisten memprioritaskan kepentingan korporasi di atas hak-hak masyarakat Indonesia. Pemberian izin yang hanya menitikberatkan keuntungan investasi masih menjadi masalah utama yang harus terus dicermati bersama. Praktik-praktik buruk seperti ini terus dilanggengkan tanpa ada niat baik dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan hingga menyebabkan Indonesia tidak pernah absen dari bencana ekologi setiap tahunnya. Tidak hanya itu, hilangnya tutupan hutan dan ruang hidup tidak hanya untuk manusia namun juga makhluk hidup lain juga menjadi beban yang harus ditanggung. Hutan Indonesia yang pernah menjadi rumah atas berbagai karismatik flora dan fauna kini mulai dipertanyakan statusnya.
Berbagai ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup di Batang Toru terus bertambah setiap tahunnya, seperti perluasan perkebunan kelapa sawit, pembangunan PLTA dan geothermal, tambang, yang ada sekarang sudah memberikan kontribusi kerusakan yang besar. Dengan keadaan Batang Toru yang masih hijau, tidak menutup kemungkinan ancaman-ancaman yang lebih besar hadir apabila tidak ada usaha perlindungan yang konsisten. Ditambah dengan konteks Indonesia yang sedang berada di tengah pandemi, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan tentang keadaan lingkungan hidup dan alam yang sudah penuh akan kerusakan ruang hidup manusia dan spesies lain. Upaya perlindungan terhadap ekosistem Batang Toru harus menjadi bentuk usaha bersama yang terintegritas antara semua stakeholder, termasuk lokal komunitas yang sudah lama berdampingan dengan alam untuk bebas berpartisipasi dalam tata kelola sumber daya alam. Tidak lagi hanya berdasarkan kepentingan beberapa kelompok tertentu/korporasi.
Dalam mempromosikan perlindungan yang lebih baik terhadap Ekosistem Batang Toru, WALHI memberikan tiga rekomendasi, yang pertama WALHI mendorong perlu adanya Audit Lingkungan Hidup yang menyeluruh terhadap operasi perusahaan pertambangan, termasuk pertambangan Martabe, serta operasi perusahaan HPH di dalam ekosistem Batang Toru, dan juga proyek-proyek lainnya, seperti Geotermal Sarulla, dan PLTA. Kedua, perlu dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Ekosistem Batang Toru untuk melihat daya dukung dan daya tampung ekosistem, serta sejauh mana kerusakan yang sudah terjadi dalam ekosistem Batang Toru. Ketiga, perlu adanya pengakuan keberadaan masyarakat adat serta masyarakat lokal yang selama ini telah berdiam di kawasan ekosistem Batang Toru, melalui proses pelibatan yang bermakna dalam setiap rencana kegiatan atau pembangunan, untuk meminimalisir terjadinya konflik, terutama konflik horizontal.
WALHI terus mendorong bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat penting dalam menjaga dan melestarikan ekosistem Batang Toru. Dalam rencana pembangunan, masyarakat adat tidak boleh hanya disosialisasikan, masyarakat adat seharusnya dijadikan stakeholder utama dalam setiap rencana pembangunan di sekitar Batang Toru. Keterlibatan masyarakat adat ini adalah krusial karena apabila terjadi dampak dari pembangunan tersebut, mereka juga yang nanti akan menerima akibatnya.
Menekankan hak-hak dan pengetahuan adat dari lokal komunitas yang memiliki ikatan adat dengan wilayah mereka yang berada di dalam atau dekat dengan hutan perlu untuk didorong. Masyarakat adat telah lama hidup dengan damai dalam ekosistem rimba alam, menjaga dan memanfaatkan ekosistem tanpa merusaknya, mereka juga menjadi “guardian” untuk satwa disekitarnya dari upaya perambahan. Hingga kini, jumlah lokal komunitas secara bertahap menurun karena ekspansi agresif industri ektraktif setidaknya telah mempengarui 33.000 desa hingga sekarang. Pengkikisan lokal komunitas dan pengetahuan adat mereka secara perlahan ini tidak hanya sebuah kehilangan yang tak bisa kembali untuk sejarah budaya Indonesia, namun juga untuk warisan manusia sendiri.
Untuk mengunduh salinan materi oleh narasumber Webinar klik disini : https://bit.ly/32buDKP