Medan, walhisumut.or.id – Sekitar 300 hektar kawasan hutan lindung di sekitar Danau Toba, Kabupaten Samosir, terbakar sejak Minggu, 14 Juli 2024.
Sebelumnya, pada Kamis 11 Juli 2024, juga telah terjadi kebakaran di Perbukitan Sipiso-piso yang terletak di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo dengan luas puluhan hektar kawasan hutan.
Pantauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Sumatera Utara (WALHI Sumut) dari pemberitaan media daring, disinyalir kedua kasus tersebut berlatar belakang sama: dibakar untuk membuka lahan. Suatu praktik culas dalam pembukaan lahan yang tidak memikirkan dampak sebaran api oleh oknum tak bertanggung jawab.
Kapolres Tanah Karo, AKBP Wahyudi Rahman, S.H, S.I.K, M.M., telah menyampaikan imbauan tegas terkait kejadian ini. Beliau mengingatkan dan menegaskan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Karo untuk tidak melakukan pembakaran lahan dengan alasan apapun.
“Kita ketahui bersama, bahwa tindakan ini tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa dan harta benda masyarakat sekitar. Kami akan menindak tegas siapa pun yang terbukti melakukan pembakaran lahan,” ujarnya.
Perlu Teknologi Deteksi Modern
WALHI Sumatera Utara sangat menyayangkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berulang di sekitar Danau Toba setiap tahun tanpa ada pembelajaran efektif yang dilakukan. Seperti kebakaran dengan total ratusan hektar hektar hutan lindung di kawasan Danau Toba Siarubung, Dolok Sijonaha Desa Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, beberapa waktu lalu.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, Jumat (19/7/2024), di Medan, menanggapi minimnya mitigasi risiko yang dilakukan instansi terkait.
Dijelaskannya, setiap tahun kebakaran hutan dan lahan di sekitar Danau Toba terus berulang dan fenomena itu telah menjadi ancaman serius bagi lingkungan, serta masyarakat setempat. Pada 2023, tercatat terjadi tiga kali kebakaran hutan dan lahan, sementara pada 2024, luas area yang terbakar telah mencapai sekitar 300 hektar.
Disebutkannya, selain praktek pembukaan lahan oleh oknum tak bertanggung jawab, secara ekologis juga kebakaran hutan di sekitar Danau Toba bisa dipengaruhi perubahan iklim global. Peningkatan suhu dan perubahan pola cuaca, menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang dan intensitas hujan yang tidak menentu sehingga meningkatkan risiko kebakaran.
Kerusakan ekosistem akibat kebakaran hutan sangat signifikan, lanjutnya, mulai dari hilangnya biodiversitas, kerusakan habitat, hingga degradasi tanah. Kondisi vegetasi di kawasan tersebut, seperti semak belukar dan hutan pinus yang mudah terbakar, juga mempercepat penyebaran api.
Mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan pendekatan komprehensif dan terintegrasi. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan diperlukan pengawasan yang lebih ketat. Diperlukan adanya teknologi modern seperti satelit dan drone dapat digunakan untuk mendeteksi areal yang rentan dan berpotensi terbakar serta memantau kebakaran hutan secara real-time.
“Diperlukan teknologi modern, seperti satelit untuk mendeteksi areal yang rentan dan berpotensi terbakar serta memantau kebakaran hutan secara real time,” kata Rianda.