Perusahaan multinasional Jardine Matheson jadi yang paling bertanggung jawab dari operasional PT. Agincourt Resources. Tambang yang merusak habitat orang utan Tapanuli di ekosistem Batang Toru.
Orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah spesies baru di antara kera besar yang ditemukan dalam satu abad terakhir. Jenis ini merupakan spesies yang paling terisolasi di Pulau Sumatera, hanya ditemukan di lanskap Batang Toru yang mencakup wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Berbeda dari orang utan Sumatera (Pongo abelii) dan orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus), orang utan Tapanuli memiliki karakteristik unik, namun sangat rentan dengan populasi kurang dari 800 individu.
Dengan status “Critically Endangered” menurut IUCN, keberadaan spesies ini sangat terancam akibat hilangnya habitat yang disebabkan oleh deforestasi. Pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan melalui Peraturan Menteri LHK No. 92/2018, namun ancaman besar seperti proyek PLTA Batang Toru dan ekspansi tambang emas terus mengganggu habitat orang utan Tapanuli.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memandang, perlindungan orang utan orang utan Tapanuli bukan hanya tentang konservasi satwa langka, tetapi juga terkait dengan hak masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan. Selamat ratusan tahun masyarakat adat selaras dengan alam, menggantungkan hidup hutan dan ekosistem yang menjadi habitat orang utan dan spesies lainnya. Penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan kelangsungan hidup spesies ini serta keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal.
Ancaman Terhadap Kelangsungan Hidup Orang Utan Tapanuli
Degradasi dan fragmentasi hutan adalah ancaman utama bagi kelangsungan hidup orang utan Tapanuli. Lanskap Batang Toru yang dalam bahasa lokal disebut “Harangan Tapanuli”, terus mengalami deforestasi dan fragmentasi. Salah satu ancaman terbesar adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, yang terletak di wilayah yang menjadi koridor pergerakan utama orang utan. Proyek ini tidak hanya memotong dan memisahkan habitat, tetapi juga membatasi akses orang utan terhadap berbagai sumber daya penting yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, seperti pohon-pohon besar untuk bersarang dan buah-buahan untuk dimakan.
Selain itu, ekspansi tambang Emas Martabe yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan juga semakin memperburuk kondisi lingkungan. Tambang ini telah merusak habitat alami Orang utan Tapanuli dan mengganggu keseimbangan ekosistem Batang Toru. Ekspansi tambang ini juga menyebabkan deforestasi yang signifikan. Menurut pantauan WALHI Sumatera Utara, dalam 15 tahun terakhir, deforestasi di sekitar tambang telah mencapai lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang merupakan habitat penting bagi Orang utan Tapanuli.
Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah tumpang tindihnya area tambang dengan ekosistem Batang Toru, yang tidak hanya menjadi habitat orang utan tetapi juga spesies langka lainnya seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Trenggiling (Manis javanica). Hutan primer di Batang Toru merupakan salah satu hutan terakhir yang masih tersisa di Sumatera dan merupakan habitat penting bagi spesies-spesies ini. Kerusakan yang terjadi di ekosistem ini dapat berdampak luas, tidak hanya pada keanekaragaman hayati tetapi juga pada kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan ini.
Dampak Aktivitas Pertambangan Terhadap Ekosistem Batang Toru
Salah satu masalah utama Harangan Tapanuli yang dihadapi adalah kerusakan pada daerah aliran sungai (DAS) Aktivitas tambang emas Martabe. Area kerja perusahaan tambang ini tumpang tindih dengan daerah tangkapan air di hulu lima DAS utama—Sipan Sihaporas, Batang Toru, Garoga, Tapus, dan Badiri. Akibatnya sumber air utama bagi hampir 100.000 orang yang tinggal di hilir menjadi terancam. Aktivitas penambangan menyebabkan erosi tanah yang parah, yang pada gilirannya menurunkan kualitas air dan mengurangi ketersediaannya untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, termasuk untuk pertanian dan perikanan.
Selain itu, kegiatan tambang juga meningkatkan risiko bencana alam seperti tanah longsor dan gempa bumi. Wilayah Batang Toru dikenal sebagai daerah yang rawan bencana, dengan kerentanan tinggi terhadap longsor dan terletak di zona gempa yang aktif. Aktivitas tambang di daerah ini hanya akan memperburuk risiko tersebut, menempatkan masyarakat lokal dalam bahaya besar.
Deforestasi yang disebabkan oleh spekulan tanah di sekitar hutan primer yang berdekatan dengan area perusahaan tambang semakin memperparah situasi. Aktivitas ilegal ini sering kali terkait dengan perluasan tambang dan menambah tekanan pada hutan yang sudah terfragmentasi. Semua faktor ini menjadikan upaya perlindungan habitat Orang utan Tapanuli sebagai prioritas mendesak untuk mencegah kepunahan spesies yang sangat terancam ini.
Menuntut Tanggung Jawab Jardine Matheson
Dalam menyikapi perluasan aktivitas pertambangan Martabe, WALHI Sumatera Utara bersama WALHI Nasional memutuskan untuk menggelar aksi protes di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. Jardine Cycle & Carriage Limited adalah perusahaan induk yang memiliki PT Agincourt Resources, perusahaan yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara. Aksi ini juga mendapatkan dukungan dari Friends of the Earth United Kingdom, sebuah organisasi lingkungan terkemuka yang berafiliasi dengan Friends of the Earth International, organisasi payung global yang menaungi WALHI.
Protes ini dipimpin langsung oleh Rianda Purba, Direktur WALHI Sumatera Utara. Dihadapan perwakilan Jardin, Rianda dengan tegas menyuarakan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh tambang emas Martabe. Rianda menyoroti aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada ekosistem Batang Toru dan mengancam kelangsungan hidup Orang utan Tapanuli, salah satu spesies paling langka di dunia.
“Tambang emas Martabe terletak di jantung ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi Orang utan Tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan,” ujar Rianda. “Dalam 15 tahun terakhir, tambang ini telah menyebabkan deforestasi lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup orang utan dan spesies lainnya.”
Protes ini juga menyoroti bahwa dampak tambang tidak hanya terbatas pada kerusakan hutan dan habitat satwa liar, tetapi juga mempengaruhi kehidupan manusia. “Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal,” tambahnya.
Tuntutan WALHI dan Solidaritas Global
Dalam aksi protes ini, WALHI dan Friends of the Earth mengajukan beberapa tuntutan kepada Jardine Matheson, perusahaan induk yang bertanggung jawab atas PT Agincourt Resources. Tuntutan ini mencakup langkah-langkah konkret untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada ekosistem Batang Toru dan untuk melindungi Orang utan Tapanuli serta masyarakat lokal yang terdampak.
Pertama, WALHI menuntut agar Jardine Matheson segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di wilayah orang utan Tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Wilayah-wilayah ini adalah habitat kritis yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi ekosistem.
Kedua, WALHI mendesak agar Jardine Matheson menghentikan deforestasi di area tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektar. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.
Ketiga, WALHI menuntut penerapan kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut (NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, Agro Astra Lestari, agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.
Keempat, WALHI menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal di sekitar Batang Toru. Dan kelima, WALHI meminta agar PT Agincourt Resources bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi.
Selain di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited, aksi protes juga dilakukan di depan hotel Mandarin Oriental, yang merupakan bagian dari bisnis Jardine Matheson. Nick Rau, perwakilan Friends of the Earth United Kingdom, menjelaskan bahwa aksi ini dilakukan sebagai dukungan terhadap upaya penyelamatan habitat orang utan tapanuli yang diperjungakan masyarakat adat bersama WALHI. “Kami bekerja bersama dengan WALHI sebagai sesama anggota FOE, karena perusahaan asal Inggris ini memberikan ancaman serius terhadap salah satu hutan terakhir di Indonesia, yaitu Batang Toru, yang merupakan rumah bagi Orang utan Tapanuli dan masyarakat adat,” ujarnya.
Aksi protes ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memantau kegiatan bisnis yang merusak lingkungan. “Kami ingin membuka mata publik tentang bisnis kotor yang mengancam kelestarian ekosistem dan keberlangsungan hidup manusia,” tambah Rau. Protes ini menyoroti perlunya penghentian segera aktivitas yang merusak habitat Orang utan Tapanuli serta kawasan hutan Batang Toru yang vital bagi keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal.