Medan, walhisumut.or.id – Yayasan Srikandi Lestari (YSL) bersama dengan Climate Justice Indonesia menggelar diskusi publik yang membahas tentang kriminalisasi yang terus terjadi di Indonesia, khususnya Sumatera Utara bersama berbagai lembaga dan masyarakat. Agenda diskusi berlangsung di Jalan Gagak Hitam No 19, Medan Sunggal (Ayam Penyet Jakarta), Jumat (12/07/2023).
Diskusi publik yang dihadiri warga Kwala Serapuh, warga Pangkalan Susu, Hukban Sitorus (pendamping hukum warga Kwala Langkat), KontraS Sumut, Bakumsu, dan Amnesty Internasional.
Dalam penjelasannya, Zaky Yamani dari Amnesty Internasional menerangkan selalu ada aktivis lingkungan yang dibunuh setiap minggunya di dunia karena mempertahankan ruang hidup, dan di Indonesia pejuang lingkungan kerap dikriminalisasi.
“Dengan mengutip statistik yang dirilis oleh Global Us, yang memgungkapkap ancaman terhadap pembela lingkungan ini luar biasa. Rata-rata ada tiga aktivis dibunuh setiap minggunya di seluruh dunia karena melakukan aktivitas atau membela hak lingkungan hidupnya” Terang Zaky.
Sedangkan Tommy Sinambela dari Bakumsu menjelaskan terkait kasus kriminalisasi yang terjadi kepada Sorbatua Siallagan, dalam pandangannya ini merupakan pelecehan terhadap hukum.
“Dalam arti bagaimana penguasa menggunakan hukum untuk mengkriminalisasi para pejuang lingkungan, opung Sorbatua ditangkap menggunakan peraturan Omnibus Law UU No 11 tahun 2020,” Ungkap Tommy.
Dirinya juga menjelaskan kasus Sorbatua sudah masuk dalam pengadilan dan sedang dalam tahap proses keterangan saksi ahli.
Senada dengan itu, Ady Yoga Kemit dari KontraS Sumut memaparkan ada 662 kasus yang mendapat kekerasan dan penyiksaan di Sumatera Utara, hal ini lebih banyak dilakukan oleh aparat penegakkan hukum.
“Aparat penegak hukum seperti sudah menormalisasi kekerasan, banyak orang-orang yang sudah ditangkap ternyata not found artinya korban terbukti tidak bersalah,” Tegas Ady.
Dalam diskusi publik juga hadir Samsir, ketua Kelompok Tani Nipah di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang merupakan korban kriminalisasi pada tahun 2021 karena mempertahan lahan hutan yang ditanami pohon nipah. Dirinya dituduh melakukan pemukulan terhadap pekerja PT Rapala.
“Saat bergotong royong untuk perawatan hutan yang dihadiri kurang lebih 37 orang kelompok tani nipah, lalu datang mandor dan kami sempat beradu argumen, tapi setelah itu dia pergi sambil menjerit memegang hp dan mengatakan dipukuli,” Terangnya.
Dari kasus itu, Samsir bersama Samsul dapat panggilan dari Polsek Tanjung Pura dan menjadi tahanan Polres Langkat selama 14 hari.
Kemudian, Hukban Sitorus, pendamping hukum dari Ilham Mahmudi warga Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menjelaskan terkait proses hukum yang berjalan terdapat keganjalan.
Hal itu dapat dilihat ketika proses penangkapan tidak melalui prosedur hukum yang semestinya, pun bukti-bukti yang memberatkan Ilham Mahmudi tidak kuat. Keganjalan itu dapat dilihat dari pelaporan yang aneh, sebab pemilik barak dalam kawasan hutan lindung bernama Bambang Supratman namun yang melaporkan atas nama Bahrum Jaya Pelawi.
“Bukan Ilham Mahmudi yang melakukan pengrusakan barak di dalam hutan lindung, tapi dia melerai dan yang terjadi Ilham ditangkap lalu di penjara,” Ungkap Hukban.
Berbeda hal dengan di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Nurhayati warga Desa Pintu Air mengungkapkan tentang kondisi lingkungannya yang terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, kegiatan industri ekstraktif itu telah membuat kesehatan masyarakat memburuk.
“Saat ini musim hujan abu dari PLTU Pangkalan Susu mengendap dalam air yang ditampung masyarakat, nah air itu sering dipakai untuk mencuci beras dan hal ini berpengaruh ke kesehatan seperti batuk berkepanjangan, gatal-gatal, sesak napas, jantung bengkak, bahkan anak-anak pun juga merasakan sakit paru-paru,” Ungkap Nurhayati.